Bagi para penggemar sepak bola, Xabi Alonso bukan sekadar nama. Ia adalah simbol elegansi di lini tengah, seorang maestro yang pernah mengendalikan ritme permainan Liverpool di era pertengahan 2000-an. Namun kini, setiap kali tim asuhannya berhadapan dengan The Reds, seolah ada satu pola yang terus berulang — kekalahan.
Pertanyaannya pun muncul: apakah ini sekadar kebetulan taktis, atau ada sesuatu yang lebih emosional di baliknya?
Kenangan Manis di Anfield

Xabi Alonso bergabung dengan Liverpool pada 2004 di bawah asuhan Rafael Benítez. Bersama Steven Gerrard, ia membentuk duet yang menakutkan di lini tengah dan menjadi bagian penting dari kisah epik Istanbul 2005 — ketika Liverpool menaklukkan AC Milan dalam final Liga Champions yang legendaris.
Kenangan itu begitu melekat, bukan hanya bagi fans, tapi juga bagi Alonso sendiri. Ia kerap menyebut Anfield sebagai “tempat spesial” dalam berbagai wawancara. Dalam dirinya, darah merah Liverpool tampaknya masih mengalir.
Kutukan Lawan Mantan
Namun begitu Alonso beralih ke kursi pelatih, kisahnya melawan Liverpool selalu berujung pahit. Entah bersama Real Sociedad B atau kini Bayer Leverkusen, setiap pertemuan dengan The Reds terasa berat.
Liverpool selalu tampil seolah memiliki “kode genetik” untuk menaklukkan Alonso — bukan karena ia pelatih yang buruk, tetapi mungkin karena hati kecilnya tak benar-benar ingin menyakiti mantan klubnya.
Dalam beberapa laga, terlihat bagaimana Alonso tetap menunjukkan respek luar biasa. Tidak ada selebrasi berlebihan, tidak ada provokasi. Justru ada senyum tipis dan tepukan tangan kecil ke arah pendukung Liverpool. Sebuah gestur yang bagi sebagian orang, terasa seperti nostalgia — bukan rivalitas.
Aspek Taktis vs Emosional
Secara taktis, Xabi Alonso dikenal sebagai pelatih yang disiplin, dengan filosofi kontrol bola dan struktur permainan yang rapi. Namun saat menghadapi Liverpool, gaya menyerangnya sering kali terlalu berhati-hati.
Apakah ini karena taktik Klopp yang sulit dibaca, atau karena Alonso terlalu menghormati mantan timnya? Di sinilah perdebatan muncul. Beberapa pengamat menilai Alonso tampak sedikit “terpaku” ketika berhadapan dengan atmosfer Anfield, seolah kenangan masa lalu menahan naluri kompetitifnya.
Cinta yang Belum Usai
Sulit menafikan bahwa Liverpool adalah bagian penting dalam perjalanan hidup Alonso. Bahkan setelah bertahun-tahun pergi — dari Real Madrid hingga menjadi pelatih sukses di Leverkusen — ia masih sering menyebut nama The Reds dengan nada hangat.
Jadi, mungkin benar kata orang: ada cinta yang tak pernah benar-benar berakhir, hanya berpindah bentuk.
Kesimpulan: Antara Profesionalisme dan Nostalgia
Xabi Alonso tetaplah sosok profesional. Ia pelatih berbakat dengan masa depan cerah, mungkin calon pelatih besar di masa depan — termasuk, siapa tahu, kembali ke Liverpool sebagai manajer.
Namun selama itu belum terjadi, setiap kali Alonso melawan Liverpool, bayang-bayang masa lalunya di Anfield akan terus mengikuti.
Dan setiap kekalahan mungkin bukan tanda kelemahan taktik, tapi cerminan dari hati yang belum sepenuhnya move on dari The Reds.

Tinggalkan Balasan